TESTIMONIAL: Akhir Kisah Derita Hepatitis
(Trubus Senin, 12 Maret 2007/ http://www.trubusonline.com)
Ibu
Elis menderita hepatitis sejak 1998. Ia yang saat itu berusia 25 tahun
menduga dirinya sakit mag. Nestapa itu bermula tatkala Elis mengeluh
sakit tak terperi di ulu hati. 'Makan saya memang tidak teratur,'
katanya.
Sekarang ibu Elis hamil. Kehadiran sang jabang bayi di
rahim Hj Elis tidak disambut suka-cita. Hatinya justru resah. Ia
khawatir dirinya mewariskan virus hepatitis B yang telah 10 tahun
bersarang di tubuh.
Hasrat menggugurkan janin sempat terlintas di benak
ibu 35 tahun itu. Elis resah membayangkan penderitaan yang akan dilalui
anaknya jika kelak terlahir ke dunia.
Kemoterapi
Beberapa
waktu kemudian rasa sakit kembali menyambangi ulu hati Elis. Kali ini
kondisinya bertambah buruk. Perut kian membuncit. 'Seperti hamil 7
bulan,' ujarnya. Sekujur tubuh pucat dan lunglai. Bila telapak tangan
ditekan dengan jari, tak kembali memerah. Keduanya dingin.
Khawatir
kondisinya kian memburuk, Rahmat pun segera bertolak ke RS Pelni,
Jakarta Pusat. Di sana Elis dirawat di instalasi gawat darurat. Setelah
darah diperiksa dan perutnya dipindai dengan ultrasonografi (USG),
teka-teki penyebab sakit Elis akhirnya terjawab. Ia terjangkit virus
hepatitis B. Kadar HVDNA positif pada darah mencapai 1.527 pg/ml. Itu
menunjukkan kadar virus hepatitis yang bersarang di aliran darah. Hasil
USG menunjukkan, separuh hatinya telah mengeras alias sirosis.
Elis
tak menyangka dirinya berada di ambang maut. Bayangan ajal sempat
melintas di pikirannya yang sedang galau. Namun, Elis tak mau pasrah
begitu saja menghadapi vonis dokter. Ia pun menanyakan peluang
kesembuhan bakal diraih. 'Kami hanya bisa berusaha. Perkara kesembuhan
itu ada di tangan Tuhan,' kata Elis menirukan ucapan dokter ketika itu.
Dokter
menyarankan agar Elis menjalani terapi 3TC, salah satu terapi untuk
menghalau virus hepatitis yang mengganas di tubuhnya. Ia mesti rutin
mengkonsumsi obat berupa kapsul sekali sehari dan tidak boleh terlewat.
Ia juga mesti rutin diperiksa setiap bulan untuk memantau perkembangan
virus.
Purnama demi purnama ia lalui. Tak terasa dua tahun ia
sudah menjalani terapi. Namun, alamat kesembuhan tak jua tampak. Jumlah
virus dalam darah berfluktuasi. Suatu kali jumlah virus anjlok hingga 32
pg/ml. Tak lama kemudian jumlahnya kembali melonjak. Melihat hasil yang
tidak stabil, dokter menyimpulkan terapi itu gagal.
Padahal,
pada sebagian besar pasien hepatitis B, terapi 3TC tergolong tokcer.
Keberhasilan terapi tergantung kecocokan dengan tubuh si pasien.
Kegagalan itu mungkin disebabkan tubuh menolak reaksi obat,' kata Elis
mengulang ucapan dokter.
Interferon
Pada 2001, Elis kembali
disarankan menjalani terapi. Kali ini jenis obat yang digunakan adalah
interferon. Obat itu disuntikan melalui pembuluh darah. Dalam sepekan,
Elis mesti menjalani 3 kali terapi di RS Pelni. Menurut Prof Dr dr Nurul
Akbar SpPD KGEH, ahli hepatologi di Jakarta, interferon dikenal
kalangan medis berfaedah memperbaiki hati. 'Namun, tingkat keberhasilan
interferon hanya 10-15%,' kata Nurul. Meski di lapangan interferon
sanggup mengurangi penderitaan akibat hepatitis sebanyak 40%, tapi
kemampuannya memusnahkan virus masih kecil.
Itulah yang
dirasakan Elis. Setahun terapi, lagi-lagi tak menampakkan hasil. Virus
hepatitis tak juga beranjak dari tubuhnya. Bahkan efek samping terapi
mulai tampak. 'Rambut saya rontok dan tubuh lemas terus,' kata Elis. Ia
pun memutuskan berhenti terapi.
Pada 2003, Elis kembali menjalani
terapi. Ketika itu pemerintah mendatangkan obat baru yang konon ampuh
mengentaskan virus hepatitis di negara asalnya. Namun, baru beberapa
bulan mengkonsumsi obat, efek samping mulai terasa. 'Sumsung tulang
belakang saya seperti tersedot, sakit sekali. Lidah saya tak berasa,
nafsu makan hilang, tubuh saya juga lemas,' katanya.
Meski harus
bergelut dengan rasa sakit, Elis bertekad meneruskan terapi. Seraya
menjalani terapi, Elis tak tinggal diam. Ia getol berburu informasi
tentang obat hepatitis di berbagai media. Begitu juga Rahmat. Ia
menyambangi pasar Glodok yang marak penjaja obat tradisional cina. 'Saya
membeli obat cina yang berharga jutaan rupiah,' kata Rahmat.
Susu kambing etawa
Lagi-lagi
jerih payahnya itu kandas. Alih-alih membawa kesembuhan, malah ngilu di
sekujur tubuh yang didapat. Suatu ketika, masih 2003, sebuah media
swasta mempublikasi acara yang mengupas faedah susu kambing etawa bagi
kesehatan. Karena penasaran, Elis menghubungi redaksi media itu dan
meminta nomor telepon peternak yang menjual susu kambing ettawa. Ia
bersama suami kemudian mengunjungi peternak itu di Bogor.
Tiba di
rumah, Elis mengkonsumsi susu kambing etawa hingga 2 liter per hari. Ia juga
tetap mengkonsumsi obat terapi. Beberapa bulan mengkonsumsi susu
kambing, alamat kesembuhan mulai terasa. 'Rasa sakit dan lemas yang
biasanya dirasakan selama terapi kini beragsur hilang. Badan saya lebih
bugar,' katanya. Pada 2004, sang suami mengajak Elis bertolak ke luar
negeri. 'Ketika tiba di tanahair, tubuh saya tetap bugar,' imbuh ibu 2
anak itu. Ia akhirnya menghentikan terapi dan hanya mengkonsumsi
vitamin.
Bukti kesembuhan itu juga datang ketika jabang bayi
hadir di rahim Elis. Rasa terkejut, bahagia, dan resah bercampur-aduk
dalam batin Elis. 'Saya terkejut. Orang yang sedang kemoterapi biasanya
mustahil bisa hamil karena efek samping terapi yang menyebabkan rahim
menjadi kering', katanya. Ia juga bahagia karena telah 10 tahun tidak
menimang-nimang sang bayi.
Belum ada tanggapan untuk "Manfaat Susu Kambing Etawa Untuk Penderita Hepatitis"
Posting Komentar